Sabtu, 22 Maret 2014

#Bincang Malam: Kehidupan Masyarakat Suku Baduy

Saya dan suami memang sering melakukan rumpian perbincangan tengah malam. Entah kenapa perbincangan tengah malam kami kali ini jatuh pada tema “Suku Baduy”. Saya jadi teringat, ketika dulu masih menjadi mahasiswa IPB, sering menjumpai beberapa orang Suku Baduy yang masuk ke kampus dan jualan madu hutan. Mereka berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala, membawa tas kain, dan tanpa alas kaki. Menurut informasi teman-teman sih mereka berasal dari Suku Baduy Luar. Hmm, ada Baduy Luar pasti ada juga dong Baduy Dalam. Dari pada banyak berangan-angan, jadilah saya kepo tentang masyarakat Suku Baduy.

Gambar diambil dari sini

Orang Baduy/Badui atau orang Kanekes adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Orang Baduy bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Komunikasi sehari-hari orang Baduy menggunakan Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Baduy Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Jika kita melihat sejarahnya, sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, Priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu Siliwangi. Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan kerajaaan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang, malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua” Artinya: “jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan“

Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampung Cibeo (Baduy Dalam). Mereka memiliki ciri-ciri: berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sifat penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapi amanah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.

Gambar diambil dari sini

Versi lain menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun. Setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan.

Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ). Mereka memiliki ciri khas sama dengan di kampung Cikeusik yaitu: wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara (hanya seperlunya), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih (blacu) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua (di atas lutut).

Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, Priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakan mereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan ciri khas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ), Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Mereka memiliki ciri sebagai berikut: berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena mereka masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.

Suku Baduy berasal dari daerah di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda.  Sebutan bagi suku Baduy terdiri dari:
  1. Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu (Kepuunan) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.
  2. Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di Desa Kanekes yang masih terikat oleh Hukum adat di bawah pimpinan Puun (kepala adat).
  3. Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.

Nah, inilah hasil kepo saya. Ternyata benar, bahwa beberapa orang Suku Baduy yang pernah saya lihat di kampus berasal dari Baduy Luar, jika kita lihat ciri-cirinya. Menurut saya, ada beberapa hal yang menarik tentang masyarakat Suku Baduy adalah cara hidup mereka yang benar-benar menjaga kelestarian alam. Adapun prinsip hidup masyarakat Baduy yang selaras dengan alam adalah petatah-petitih masyarakat ada Baduy yaitu:

Gunung tak diperkenankan dilebur
Lembah tak diperkenankan dirusak
Larangan tak boleh di rubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung
Yang bukan harus ditolak
Yang jangan harus dilarang
Yang benar haruslah dibenarkan

Bukti bahwa masyarakat Baduy hidup berdampingan dengan alam secara harmonis yaitu masyarakat Baduy sangat menjaga air agar selalu jernih dan bersih sehingga bisa dipakai untuk kehidupan sehari-hari. Masyarakat Baduy yang tidak memiliki kamar mandi maupun WC dirumah panggungnya, memiliki aturan untuk tidak membuang sampah, menggunakan sabun, deterjen dan bahan-bahan kimia lain yang dapat mengotori sungai. Selain itu, pembagian area-area dalam pemanfaatan sungai juga merupakan sebuah konsep dalam memperhatikan daya pulih air. Setiap kampung telah memiliki area-area khusus dalam pemanfaatan sungai. Area sungai untuk mandi, mencuci, buang air dan konsumsi memiliki areanya masing-masing sehingga masyarakat memperoleh air yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan.

Gambar diambil dari sini

Bukti lain bahwa masyarakat Baduy hidup berdampingan dengan alam juga terlihat dari cara membangun rumah. Bagian paling bawah dari rumah adalah batu sebagai penopang tiang-tiang utama rumah yang terbuat dari kayu. Tetapi, tidak seperti rumah pada umumnya, masyarakat Baduy tidak menggali tanah untuk pondasi. Batu hanya diletakan di atas tanah. Jika kontur tanah tidak rata, maka bukan tanah yang menyesuaikan sehingga diratakan, tetapi batu dan tiang kayu yang menyesuaikan. Jadi, panjang pendeknya batu mengikuti kontur tanah. Bahan bangunan rumah masyarakat Baduy merupakan bahan yang bisa dan mudah diurai oleh tanah. Bahan tersebut diantaranya dinding bilik bambu, atap dari ijuk dan daun pohon kelapa dan rangka rumah dari kayu alam yaitu kayu jati, kayu pohon kelapa dan kayu albasiah.

Gambar diambil dari sini

Masyarakat Baduy menyimpan hasil panen padi huma di sebuah leuit, lumbung padi. Leuit dibangun di pinggiran tiap kampung. Setiap keluarga memiliki leuit. Leuit adalah wujud pemahaman masyarakat Baduy tentang ketahanan pangan. Kondisi adanya leuit membuat masyarakat Baduy tidak kekurangan bahan pangan. Selain itu, apabila masyarakat Baduy akan menggunakan kayu maka kayu yang akan dipakai adalah kayu kayu yang telah kering dan tua. kayu bakar tersebut diperoleh dari pohon yang sudah dimakan rayap atau batang pohon dan ranting yang jatuh terserak. Masyarakat Baduy tidak menebang pohon untuk kayu bakar. Kearifan lokal ini menjadikan Baduy dan hutan di sekitarnya hidup harmonis selama ratusan tahun.

Jadi, mari kita teladani cara hidup menyatu dengan alam yang dilakukan masyarakat Suku Baduy. Mungkin akan terasa sulit bagi kita yang sudah terbiasa dengan bahan kimia, teknologi, dan hal-hal lain yang jika digunakan berlebihan akan merusak alam. Namun, setidaknya kita bisa menggunakan fasilitas yang ada tersebut secara bijak dan tidak berlebihan.



Sumber:


31 komentar:

  1. sepertinya masyarakat Indonesia harus belajar ulang mengenai konsep bersahaba dengan alam kepada masyarakat suku baduy ya. dan sungguh memang nyata kerusakan di muka bumiini karena keserakahan manusia adanya. infonya lengkap sekali

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya,, betul sekali mak.. keserakahan manusia inilah yang berdampak pada bencana, akibat ulah manusia sendiri sebenarnya.. :(

      Hapus
  2. Komplit infonya.... jadi pengen banget lihat mereka dari dekat. Manusia sekarang udah kebablasan serakahnya.... Itu akibatnya baru terjadi di Riau sana.. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. yuk mak.. saya juga belum pernah ke sana.. tapi penasaran banget.. :)

      Hapus
  3. Balasan
    1. mak susan, iya banget.. unik.. dan ramah lingkungan tentunya.. :)

      Hapus
  4. Maaak, aku jadi mulai mengenal suku Baduy niich, benar-benar sebuah teladan yang layak untuk diambil pelajaran *tidak merusak alam.

    Salam kenal Mak

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam kenal mak astin..

      betul sekali mak, kita patut teladani kearifaan lokal masyarakat suku badui terutama kehidupan mereka yang sangat bersahabat dengan alam..

      Hapus
  5. kampung baduy memang memiliki banyak kekhasan yang masih dilestarikan sampai sekarang. kampung ini sering jadi tempat observasi mahasiswa untuk mata kuliah komunikasi lintas budaya. nice share, mak :)
    --

    Punten, sekalian mau ngajak ikutan Trilogi Giveaway “Action for Pesantren” -- http://damai.malhikdua.com/2014/03/20/trilogi-giveaway-action-for-pesantren ya, mak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul sekali mak damae.. terima kasih sudah berkunjung..

      in sha alloh sudah dibookmark, sedang mengumpulkan ide ini.. semoga ga telat..

      Hapus
  6. trenyuh saat baca, bukan tanah yang menyesuaikan tapi pada kayu diatasnya, memang menghormati alam banget ya mak, jarang sekali yg begituan skrg :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya betul banget mak desi.. yang ada jaman sekarang bangun rumah asal keruk aja sana sini,, akhirnya ya ketika alam mulai rusak manusia sendiri yang merasakan akibatnya.. :(

      Hapus
  7. kalo di Jambi ada Suku Anak Dalam, mak.... udah ada film nya juga kemaren "SOKOLa RIMBA"

    miris melihat suku-suku asli terpinggirkan oleh kemajuan zaman dan perambahan hutan, sekarang disini banyak dari mereka yg ke kota menjadi pengemis karena hutan sudah gak lagi bisa memberi mereka makanan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya iya mak, sudah pernah liat "Sokola Rimba".. miris memang mak jika suku-suku yang peduli dengan alam harus terpinggirkan karena eksploitasi berlebihan :(

      Hapus
  8. wah menarik,,,, aku jd banyak tau yg selama ini gk ku tau

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe,, terima kasih mba icha sudah berkunjung.. Inddonesia memang kaya, termasuk alam dan budaya serta kearifan lokalnya.. :)

      Hapus
  9. Waktu kuliah aku nyaris diajak ke sini, sama kenalan temen dari Fakkultas Hukum. Sayang, proposal yang diajukan beliau ga di-acc. Sampai sekarang belum kesampaian maen ke Baduy.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yah,, sayang banget maak.. saya dulu jaman kuliah ga hobby jalan-jalan.. jadi nyesel deh.. sekarang agak ribet kalau mau jalan-jalan, apalagi ke perkampungan suku baduy..

      Hapus
  10. Waktu kecil, saya masih ngerasain main layangan, petak umpet, pramuka, dll. Anak jaman sekarang dari kecil udah pegang iPad...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas, sedih banget kan..

      terima kasih sudah berkunjung.. :)

      Hapus
  11. emang bagus kok. baduy luar saja masih 'bagus' menjaga tradisi. kapan-kapan pengen ke baduy dalammnya. sayang dulu masih ada upacara adat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. beruntunglah kamu dhan bisa melihat langsung... hehe,, mupeng banget aku ke sana..

      Hapus
  12. Sebenarnya saya sangat ingin berkunjung ke perkampungan badui, tapi sampai saat ini belum sempat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama pak,, semoga kita diberi kesempatan mengunjungi suku baduy..

      terima kasih sudah berkunjung...

      Hapus
  13. informatif say, aku baru tau ada suku baduy muslim :), tapi selalu senang jika menilik ke dalam kearifan lokal selalu banyak pelajaran positif yang bisa kita tiru, *nasionalisme unggul

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak, betul sekali.. Indonesia sebenarnya kaya sekali dengan keaarifan lokal.. yang jika diterapkan ataupun diadopsi di zaman modern ini masih iya banget kok..

      Hapus
  14. Semoga kita punya kesempatan berkunjung ke sana, menyaksikan langsung bagaimana masyarakat baduy sangat menjaga alam..

    terima kasih pak atas apresiasinya..

    BalasHapus
  15. menarik sekali ya mak, kita harus byk belajar sepertinya pd masyarakat baduy ya... harmonis dgn alam dan hidup dalam kesederhanaan. nice sharing...trima kasih mak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sudah sangat susah ditemukan mak di jaman sekarang masyarakat yang harmonis dengan alam.. sungguh patut kita contoh.. terima kasih mak atas kunjungannya.. :)

      Hapus

Keunikan Masjid Syech Sulaiman Lubis Alkholidy

Assalamualaikum wr. wb. Senin, 13 juni 2016 saya dan rombongan melakukan perjalanan dari kota padangsidimpuan menuju kabupaten mandaili...