Saya dan suami memang sering
melakukan rumpian perbincangan tengah malam. Entah kenapa perbincangan tengah
malam kami kali ini jatuh pada tema “Suku Baduy”. Saya jadi teringat, ketika
dulu masih menjadi mahasiswa IPB, sering menjumpai beberapa orang Suku Baduy
yang masuk ke kampus dan jualan madu hutan. Mereka berpakaian serba hitam,
memakai ikat kepala, membawa tas kain, dan tanpa alas kaki. Menurut informasi
teman-teman sih mereka berasal dari Suku Baduy Luar. Hmm, ada Baduy Luar pasti
ada juga dong Baduy Dalam. Dari pada banyak berangan-angan, jadilah saya kepo
tentang masyarakat Suku Baduy.
|
Gambar diambil dari sini |
Orang Baduy/Badui atau orang Kanekes
adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten
Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka
merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Orang Baduy
bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari
kota Rangkasbitung.
Komunikasi sehari-hari orang Baduy
menggunakan Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan
penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak
mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Baduy Dalam tidak mengenal
budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek
moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Jika kita melihat sejarahnya,
sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan
yakni dari Banten, Bogor, Priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu
yang menjadi Rajanya adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu
Siliwangi. Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam
yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali
Songo dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai
Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit
dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja
beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan kerajaaan
masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka
meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun
upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang,
malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring
tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya
nu masih keneh sa wangatua” Artinya: “jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug
),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung,
lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun
keluarga yang masih satu turunan“
Keturunan ini yang sekarang
bertempat tinggal di kampung Cibeo (Baduy Dalam). Mereka memiliki ciri-ciri:
berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih, memakai
sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sifat penampilannya
jarang bicara (seperlunya) tapi amanah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah
terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
|
Gambar diambil dari sini |
Versi lain menurut cerita yang
menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi
yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun. Setelah Cirebon dan
sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang
bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama
Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk
Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten
memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai ,
maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya
tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut
GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan.
Keturunan ini yang kemudian
menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ). Mereka memiliki ciri khas sama
dengan di kampung Cikeusik yaitu: wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak
bicara (hanya seperlunya), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima
bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih (blacu) atau
dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua
(di atas lutut).
Ada juga yang mengatakan bahwa
yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu
itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, Priangan, Bogor, Cirebon juga dari
Banten. Jadi kebanyakan mereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar
adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah
tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga
kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan
belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus
menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung
Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di
atas masih ada kesamaan ciri khas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi
mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai
Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah
yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ), Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Mereka memiliki ciri sebagai berikut:
berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik
kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak
berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena mereka masih
harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.
Suku Baduy berasal dari daerah di
wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku
Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan
serta sifatnyapun sangat berbeda.
Sebutan bagi suku Baduy terdiri dari:
- Suku
Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu (Kepuunan)
yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.
- Suku
Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang
menempati di 27 kampung di Desa Kanekes yang masih terikat oleh Hukum adat di bawah
pimpinan Puun (kepala adat).
- Suku
Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran
agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah
tidak mengikuti Hukum adat.
Nah, inilah hasil kepo saya.
Ternyata benar, bahwa beberapa orang Suku Baduy yang pernah saya lihat di
kampus berasal dari Baduy Luar, jika kita lihat ciri-cirinya. Menurut saya, ada
beberapa hal yang menarik tentang masyarakat Suku Baduy adalah cara hidup
mereka yang benar-benar menjaga kelestarian alam. Adapun prinsip hidup
masyarakat Baduy yang selaras dengan alam adalah petatah-petitih masyarakat ada
Baduy yaitu:
Gunung tak diperkenankan dilebur
Lembah tak diperkenankan dirusak
Larangan tak boleh di rubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung
Yang bukan harus ditolak
Yang jangan harus dilarang
Yang benar haruslah dibenarkan
Bukti bahwa masyarakat Baduy
hidup berdampingan dengan alam secara harmonis yaitu masyarakat Baduy sangat
menjaga air agar selalu jernih dan bersih sehingga bisa dipakai untuk kehidupan
sehari-hari. Masyarakat Baduy yang tidak memiliki kamar mandi maupun WC dirumah
panggungnya, memiliki aturan untuk tidak membuang sampah, menggunakan sabun,
deterjen dan bahan-bahan kimia lain yang dapat mengotori sungai. Selain itu,
pembagian area-area dalam pemanfaatan sungai juga merupakan sebuah konsep dalam
memperhatikan daya pulih air. Setiap kampung telah memiliki area-area khusus
dalam pemanfaatan sungai. Area sungai untuk mandi, mencuci, buang air dan
konsumsi memiliki areanya masing-masing sehingga masyarakat memperoleh air yang
berkualitas sesuai dengan kebutuhan.
|
Gambar diambil dari sini |
Bukti lain bahwa masyarakat Baduy
hidup berdampingan dengan alam juga terlihat dari cara membangun rumah. Bagian
paling bawah dari rumah adalah batu sebagai penopang tiang-tiang utama rumah
yang terbuat dari kayu. Tetapi, tidak seperti rumah pada umumnya, masyarakat
Baduy tidak menggali tanah untuk pondasi. Batu hanya diletakan di atas tanah.
Jika kontur tanah tidak rata, maka bukan tanah yang menyesuaikan sehingga
diratakan, tetapi batu dan tiang kayu yang menyesuaikan. Jadi, panjang
pendeknya batu mengikuti kontur tanah. Bahan bangunan rumah masyarakat Baduy
merupakan bahan yang bisa dan mudah diurai oleh tanah. Bahan tersebut
diantaranya dinding bilik bambu, atap dari ijuk dan daun pohon kelapa dan
rangka rumah dari kayu alam yaitu kayu jati, kayu pohon kelapa dan kayu
albasiah.
|
Gambar diambil dari sini |
Masyarakat Baduy menyimpan hasil
panen padi huma di sebuah leuit, lumbung padi. Leuit dibangun di pinggiran tiap
kampung. Setiap keluarga memiliki leuit. Leuit adalah wujud pemahaman masyarakat
Baduy tentang ketahanan pangan. Kondisi adanya leuit membuat masyarakat Baduy
tidak kekurangan bahan pangan. Selain itu, apabila masyarakat Baduy akan
menggunakan kayu maka kayu yang akan dipakai adalah kayu kayu yang telah kering
dan tua. kayu bakar tersebut diperoleh dari pohon yang sudah dimakan rayap atau
batang pohon dan ranting yang jatuh terserak. Masyarakat Baduy tidak menebang
pohon untuk kayu bakar. Kearifan lokal ini menjadikan Baduy dan hutan di
sekitarnya hidup harmonis selama ratusan tahun.
Jadi, mari kita teladani cara hidup menyatu dengan alam yang dilakukan masyarakat Suku Baduy. Mungkin akan terasa sulit bagi kita yang sudah terbiasa dengan bahan kimia, teknologi, dan hal-hal lain yang jika digunakan berlebihan akan merusak alam. Namun, setidaknya kita bisa menggunakan fasilitas yang ada tersebut secara bijak dan tidak berlebihan.
Sumber: